Diskusi PARA Syndicate – PEMANTIK
Sabtu, 15 Februari 2025
Sikap Indonesia terhadap Perang Dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok akan menentukan jalan perpolitikan hingga perekonomiannya ke depan. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis hubungan AS dan Tiongkok, sembari menelaah kembali bagaimana hubungan Indonesia dengan kedua negara. Hal yang juga krusial adalah menelaah bagaimana Indonesia seharusnya menyikapi Perang Dagang AS-Tiongkok, tanpa menafikan peluang dan risikonya.
Sebagai catatan, AS telah melantik Donald Trump sebagai presiden pada Januari 2025 lalu. Di bulan selanjutnya, Trump menerapkan tarif tambahan 10 persen terhadap seluruh import dari Tiongkok. Tiongkok lantas bereaksi dengan mematok tarif 10 persen terhadap import minyak dan alat-alat pertanian dari AS. Demikian juga terhadap batu bara dan gas alam cair (LNG) sebesar 15 persen.
Perang Dagang AS-Tiongkok jelas akan berdampak bagi Indonesia, bahkan bagi seantero dunia, mengingat seluruh negara telah menjadi sesuatu yang integral; saling bergantung satu sama lain. Terlebih lagi, AS dan Tiongkok merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar. Maka dari itu, dampak yang diakibatkan dinamika keduanya merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan.
Bertolak dari itu, PARA Syndicate bersama Persatuan Penerima Beasiswa INTI ke Tiongkok (PEMANTIK) menggelar diskusi bertajuk ”Perang Dagang AS-Tiongkok di Era Donald Trump dan Dampaknya untuk Generasi Muda Indonesia”. Acara ini digelar di Sekretariat Perhimpunan INTI, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 15 Februari 2025.
Dalam diskusi ini hadir empat narasumber yaitu Muhammad Fatahillah (Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia), Virdika Rizky Utama (Direktur Eksekutif PARA Syndicate/Alumni Beasiswa INTI-CGS), Fathan Asadudin Sembiring (Praktisi Bisnis dan Co-Founder Gentala Institute), dan Victor S. Hardjono (Kementerian Luar Negeri RI Pejabat Fungsional Diplomat Madya, Direktorat Asia Timur). Diskusi dipandu oleh Lutfia Harizuandini (Peneliti PARA Syndicate).
Fatahillah mengawali analisis dinamika AS-Tiongkok dengan melihat karakter Presiden AS Trump. Menurutnya, Trump yang merupakan pebisnis memproyeksikan untung-rugi bagi AS. Ia begitu ambisius, bersikap materialitis, pragmatis, sekaligus narsis, sehingga tak ayal bila ingin mendominasi dunia.
“Ketika neraca perdagangan AS selalu mengalami kerugian dan kalah dari Tiongkok, Trump mengenakan tarif kepada Tiongkok dan membentuk sentimen negatif terhadap negara tersebut,” tuturnya, merujuk pada Perang Dagang yang pernah terjadi di pemerintahan Trump periode 2017-2021. Sementara itu, Tiongkok juga tidak mau kalah dengan membalasnya melalui pengenaan tarif juga.
Dalam menghadapi Perang Dagang AS-Tiongkok kali ini, Fatahillah berharap Indonesia bisa belajar dari pengalaman ketika menghadapi Perang Dagang sebelumnya. “Saat ini Indonesia mesti mempertimbangkan posisi dan perannya di tataran global, proyeksikan dampaknya… harus memikirkan kesiapan kebijakan di dalam negeri, khususnya investasi dan relokasi industri ke Asia Tenggara. Juga, cermati kemampuan diplomasi ekonomi Indonesia karena ini lebih dari sekadar perang tarif,” terangnya.
Dalam kesempatan itu, Virdika menilai AS sedang dalam fase penurunan hegemonik, sementara Tiongkok berada di fase ekspansi. “Menghadapi ini, Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam dinamika konflik antara dua kekuatan ini,” katanya.
Virdi berharap Indonesia bertumpu pada ASEAN alih-alih melipir kepada AS atau Tiongkok. Hanya dengan demikian, Indonesia punya peluang lebih besar untuk memperkuat kemandirian ekonominya. Lebih lanjut, ia memperingatkan, “Jika kebijakan yang tepat tidak segera diterapkan dalam 5–7 tahun ke depan, Indonesia sekadar bergantung kepada salah satu kekuatan global (AS atau Tiongkok).”
Sementara itu, bagi Victor, skenario ke depan masih kabur. “Masih belum bisa mengukur Trump karena sulit diprediksi dan kenyataan sekarang tidak reliable; eksplosif… Sementara, Tiongkok agak tertutup,” ujarnya.
Meski begitu, Victor menegaskan bahwa Indonesia harus merefleksikan sekaligus merumuskan kembali kepentingannya. Apa pun kepentingannya, kata dia, Indonesia harus melaju ke depan jika ingin mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. “Indonesia harus terus produktif dan pertumbuhan ekonomi harus jalan,” lanjutnya, seraya berpesan agar Indonesia meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan untuk mendukung hal ini.
Adapun Fathan menyoroti Indonesia belum punya teknologi kecerdasan buatan secanggih yang dimiliki AS dan Cina, seperti ChatGPT dan DeepSeek, yang kini digandrungi generasi muda. Ia menyayangkan bila Indonesia ke depan tidak punya inovasi serupa, yang memungkinkannya sekadar menjadi pengguna. “Peran pemerintah dan regulasinya harus bagaimana, itu harus diperhatikan,” katanya.
YouTube: https://youtu.be/rAALJr5uApY?si=1hCHICdItS1PjKQq
(Tim PARA Syndicate)